JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan sebagai negara mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia dengan jumlah lebih dari 237,5 juta jiwa, atau sekitar 86,9 persen dari jumlah penduduk Indonesia, pengembangan gagasan ekonomi syariah di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Tahun 2021 yang lalu, dengan adanya dorongan dari segenap pemangku kepentingan, utamanya pemerintah, pertumbuhan perekonomian syariah di Indonesia memiliki prospek yang cukup menjanjikan.
“Beberapa catatan penting yang dapat kita jadikan rujukan antara lain adanya upaya penguatan regulasi Jaminan Produk Halal (JPH), dimana pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan JPH. Pada awal tahun 2021, Presiden Jokowi juga telah meresmikan brand ekonomi syariah untuk meningkatkan literasi, edukasi, serta sosialisasi ekonomi dan keuangan syariah secara masif, dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keyakinan masyarakat terhadap ekonomi dan keuangan syariah,” ujar Bamsoet saat menjadi pembicara utama dalam Webinar Syariah ‘Kejelasan “spin off” Unit Usaha Syariah,
Rampungkah di Tahun 2023?’, di Jakarta, Selasa (4/10/22).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, sebagai implementasi dari amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku salah satu otoritas yang mengatur sistem perbankan Indonesia mengeluarkan kebijakan kewajiban pemisahan unit usaha (spin off). Kebijakan ini dilakukan dengan tujuan menciptakan struktur perbankan yang kuat, memperbesar skala usaha serta peningkatan daya saing melalui kemampuan inovasi, serta dapat berkontribusi signifikan dalam perekonomian nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 juga menetapkan bahwa spin off unit usaha syariah dilakukan maksimal 15 tahun sejak penerbitan undang-undang tersebut. Artinya, batas waktu unit usaha syariah menjadi bank umum syariah adalah pada tanggal 16 Juli 2023 atau sekitar 10 bulan lagi.
“Persoalannya, di tengah kondisi perekonomian yang masih berupaya bangkit dan memulihkan diri dari dampak pandemi serta pelambatan pertumbuhan ekonomi, implementasi spin off tentunya bukan hal yang mudah. Berdasarkan data Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), hingga tahun 2020, masih terdapat sekitar 9 hingga 12 unit usaha syariah yang menyatakan belum siap. Sementara menurut Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO), hingga Agustus 2022, masih ada 21 unit usaha syariah yang harus spin off dari induk perbankan,” urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, sebuah unit usaha syariah yang akan memisahkan diri dari induknya, otomatis keluar dari induk usahanya dan akan menjadi entitas ekonomi baru, harus menyesuaikan diri dengan beberapa persyaratan. Diantaranya, kecukupan jumlah modal inti. Jika mengikuti aturan permodalan bank terbaru, maka untuk melakukan spin off, setiap unit usaha syariah harus memiliki modal inti setidaknya Rp 1 triliun, jika bank induknya telah memenuhi batas bawah modal inti sebesar Rp 3 triliun.
Di samping itu, spin off unit usaha syariah juga harus mampu untuk bersaing di pasar. Sebagai catatan, pangsa pasar keuangan syariah di tanah air masih sangat kecil, dan baru berkontribusi 10,16 persen pada 2021. Angka ini masih jauh dari target yang ditetapkan dalam masterplan ekonomi syariah sebesar 20 persen pada tahun 2024
mendatang.
“Selain melakukan spin off, masih ada alternatif lain yang bisa ditempuh oleh bank pemilik unit usaha syariah, yaitu menjual bisnis unit usaha syariah ke bank umum syariah, atau menutup portofolio syariahnya. Namun tentunya pilihan utamanya adalah tetap mempertahankan unit usaha syariah, mengingat unit usaha syariah juga memiliki peran penting dalam membesarkan pangsa pasar keuangan syariah. Semakin besar unit usaha syariah, semakin besar peluang untuk memperbesar market share perbankan syariah itu sendiri,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, dalam wacana yang berkembang di ranah publik, muncul beberapa aspirasi yang mengemuka terkait kebijakan spin off. Diantaranya adalah penundaan tenggat waktu penyelesaian spin off, atau bahkan perubahan kebijakan spin off, dari yang tadinya bersifat kewajiban, menjadi sebuah pilihan. Ada pula pandangan bahwa untuk mendorong kesiapan unit usaha syariah melakukan spin off, maka diperlukan bantuan bank induk untuk memberikan suntikan modal.
“Satu hal yang penting kita kemukakan, kebijakan apa pun yang diambil, haruslah berkiblat pada tujuan awal lahirnya kebijakan spin off unit usaha syariah. Yaitu menciptakan struktur perbankan nasional yang kuat, dan bermuara pada penguatan perekonomian nasional. Dalam konteks ini, agar implementasi kebijakan spin off dapat benar-benar memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat, maka dalam proses nya harus ada peran pengawasan, bimbingan, dan pembinaan dari otoritas pemangku kepentingan, khususnya OJK,” pungkas Bamsoet. (*)