JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menerima kunjungan silahturahmi Forum Aspirasi Konstitusi yang di pimpin oleh Prof Jimly Asshiddiqie yang juga anggota MPR RI dari unsur kelompok DPD RI. Forum Aspirasi Konstitusi merupakan Alat Kelengkapan Pimpinan MPR RI yang nantinya akan berada dibawah koordinasi Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat yang membawahi bidang penyerapan aspirasi masyarakat dan lembaga negara. Forum Aspirasi Konstitusi dipimpin Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, anggota MPR RI dari Kelompok DPD RI yang juga Pakar Hukum Tata Negara. Berperan untuk memperkuat tugas MPR RI sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU MD3, khususnya yang terdapat dalam ayat D, yakni menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Hasil penyerapan aspirasi itu sendiri nanti akan di serahkan ke Badan Pengkajian MPR RI sebagai alat kelengkapan Mahkamah.
“Sebagai tahap awal, pada Oktober atau November 2022, Forum Aspirasi Konstitusi akan menyelenggarakan pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat dari mulai kalangan veteran, TNI-Polri, agamawan, cendikiawan, hingga praktisi dan akademisi. Sehingga aspirasi mereka terkait konstitusi yang selama ini hanya tersalurkan melalui tulisan di jurnal penelitian, media sosial, hingga grup whatsapp, bisa diserap, dikaji, dan ditindaklanjuti oleh MPR RI. Khususnya dalam mempersiapkan konstitusi untuk menyongsong Indonesia Emas 2045 yang hanya tinggal 25 tahun lagi,” ujar Bamsoet dalam pertemuan silaturahmi Forum Aspirasi Konstitusi dengan Ketua MPR RI, di Komplek MPR RI, Jakarta, Kamis (1/9/22).
Turut hadir Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad. Hadir pula para anggota MPR RI dari Kelompok DPD yang menjadi anggota Forum Aspirasi Konstitusi, antara lain Abdul Kholik, Hilmy Muhammad, Filep Wamafma, dan Agustin Teras Narang (hadir virtual).
Ketua DPR RI ke-20 sekaligus mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dengan menyerap aspirasi dari berbagai kalangan, Forum Aspirasi Konstitusi juga bisa mengevaluasi kinerja konstitusi dari mulai pasca reformasi hingga saat ini yang telah berjalan 24 tahun dan mengalami empat kali perubahan (amandemen). Sebagai gambaran, empat kali perubahan (amandemen) telah meliputi hampir keseluruhan materi konstitusi.
“Naskah asli UUD 1945 yang pada mulanya berisi 71 butir ketentuan, setelah dilakukan empat kali amandemen menghasilkan 199 butir ketentuan. Dari 199 butir ketentuan tersebut, hanya 25 butir ketentuan atau 12 persen yang tidak mengalami perubahan dari naskah aslinya. Selebihnya, sebanyak 174 butir ketentuan atau 88 persen merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, evaluasi terhadap konstitusi dengan berdasarkan aspirasi masyarakat bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan. Dari berbagai evaluasi tersebut, bisa semakin mewujudkan konstitusi yang ideal, yakni konstitusi yang hidup (living constitution) dan konstitusi yang bekerja (working constitution).
“Konstitusi yang ‘hidup’ adalah konstitusi yang mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman; sedangkan konstitusi yang ‘bekerja’ adalah Konstitusi yang benar-benar dijadikan rujukan dan diimplementasikan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila sekaligus Wakil Ketua Umum FKPPI/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, evaluasi terkait empat kali perubahan (amandemen) konstitusi misalnya bisa dilakukan terhadap derasnya masukan dari berbagai kelompok masyarakat, seperti PP Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu, yang mengusulkan agar Utusan Golongan dihidupkan kembali dalam keanggotaan MPR RI. Keberadaan Utusan Golongan dihapuskan dalam keanggotaan MPR RI pada perubahan pertama konstitusi tahun 1999. Setelah berjalan sekitar 24 tahun, ketiadaan Utusan Golongan dirasakan justru menyebabkan demokrasi Pancasila seperti kehilangan jati dirinya.
Keberadaan Utusan Golongan dalam lembaga perwakilan adalah amanat dan legasi kesejarahan yang telah diwariskan sejak cita-cita awal kemerdekaan. Utusan golongan secara prinsipil telah dikonsepkan oleh para pendiri bangsa sebagai bagian dari keterwakilan rakyat Indonesia yang plural, dengan mendudukkan MPR sebagai lembaga negara yang merepresentasikan keterwakilan politik, keterwakilan daerah, dan keterwakilan golongan-golongan.
“Melalui Forum Aspirasi Konstitusi, dengan terlebih dahulu menyerap aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat, bisa saja MPR RI periode 2019-2024 merekomendasikan kepada MPR RI periode 2024-2029 untuk mengkaji lebih jauh tentang perlu kembalinya Indonesia memiliki Utusan Golongan. Sehingga perwakilan politik (political representation), perwakilan daerah (regional representation), serta perwakilan golongan (functional representation) bisa terakomodir dalam lembaga perwakilan rakyat yang inklusif di MPR RI,” pungkas Bamsoet. (*)