MEKKAH – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai sistem Kafala yang diterapkan pemerintah Arab Saudi sangat memberatkan pekerja migran Indonesia, utamanya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga. Reformasi yang dilakukan pun lebih menguntungkan majikan
LaNyalla menjelaskan,
Pemerintah Arab Saudi sedang membentuk 13 perusahaan perekrutan pekerja migran. Hal ini juga menjadi bagian dari reformasi sistem Kafala.
“Masing-masing perusahaan diberi keleluasaan untuk menciptakan sekurang-kurangnya 5 kantor agen untuk menangani dan bertindak sebagai sponsor dari tenaga kerja migran yang masuk ke kerajaan tersebut,” terang LaNyalla dalam kunjungan kerja ke Arab Saudi, Kamis (12/5/2022).
Dijelaskannya, sistem ini akan mengganti sponsorship individual yang telah diberlakukan terlebih dahulu.
“Dalam kebijakan ini, kewenangan mengurusi pekerja migran dialihkan kepada Kementerian Tenaga Kerja, setelah puluhan tahun dikelola oleh Kementerian Dalam
Negeri,” katanya.
Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, kegiatan 13 perusahaan sponsor ketenagakerjaan ini akan diawasi lembaga baru yang berafiliasi dengan Kementerian Tenaga Kerja Arab Saudi dan
dinamakan Foreign Workers’ Af airs Agency atau agensi urusan pekerja asing.
“Lembaga ini memiliki banyak cabang di seluruh Arab Saudi. Dengan lembaga baru ini, majikan akan mendapat kompensasi apabila pekerja migran menimbulkan kerugian terhadapnya selama menampung pekerja migran
dimaksud,” terangnya.
Lembaga baru tersebut juga yang akan menanggung biaya tiket untuk mengirim pulang pekerja migran yang dideportasi karena overstay, serta akan membayar 6 bulan gaji pekerja migran, apabila majikan lambat atau lalai membayar gaji pekerja migran.
“Tapi, reformasi sistem Kafala di Arab Saudi ini lebih banyak menguntungkan majikan ketimbang menguntungkan pekerja migran seperti ART dari Indonesia. Reformasi
sistem Kafala di Arab Saudi juga tidak menyentuh perlunya jaminan keamanan
kontrak kerja agar tidak diubah sesuka hati oleh majikan,” sebut LaNyalla.
Menurutnya, selama ini majikan Arab bebas mengubah kontrak kerja secara sepihak.
“Misalnya menurunkan gaji yang sudah dijanjikan sebelumnya, menerapkan jam kerja yang tidak terbatas, melakukan pelecehan seksual dan penyiksaan secara fisik, dan
tidak memenuhi kondisi kerja yang telah disepakati sebelumnya,” katanya.
Ditambahkan LaNyalla, paspor dan HP pekerja migran biasanya disita majikan, gaji ART tidak dibayar tepat waktu, dan biasanya baru dibayar di akhir masa kontrak, itu pun sering karena ada intervensi dari KBRI atau Konjen RI di sana.
“Kondisi seperti ini sudah
berlangsung puluhan tahun, tetapi Pemerintah Indonesia tidak punya solusi yang dapat diandalkan, karena tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku di Arab Saudi,” tutur LaNyalla.
Menurutnya, satu-satunya cara bagi pemerintah RI melakukan mediasi adalah melalui persuasif kepada para majikan yang dinilai kurang manusiawi itu.
“Karena pemerintah RI toh membutuhkan lapangan pekerjaan di Arab bagi para pekerja migran yang ingin memperbaiki nasib dan mengirim pulang devisa dalam jumlah besar setiap tahunnya,” katanya.
Untuk diketahui, Maysan Alobaid menulis dalam Penn Law, penerbitan Fakultas Hukum University of Pennsylvania, bahwa Kafala adalah konsep yurisprudensi Islam, yang dalam bahasa Arab memiliki berbagai arti, seperti dukungan, jaminan, penjaminan, sponsorship, dan menjadikan tanggung jawab keamanan sebagai fokusnya.
Dalam yurisprudensi Islam, Kafala terjadi dalam kesepakatan untuk menanggung kewajiban interaksi seseorang dengan uang (Kafala bi al-mal) atau badan (Kafala bi al-nafs).
Penerapan Islami dapat disaksikan dalam hukum keluarga Islam, dimana Kafala dapat pula diartikan sebagai suatu akad dimana seorang anak yatim diasuh sampai dewasa sebagai bentuk perwalian.
Penerapan Islam lainnya dari Kafala terjadi dalam hal utang-piutang, di mana penjamin setuju untuk bertanggung jawab atas kewajiban debitur terhadap kreditur. Pemahaman tentang Kafala ini terjadi dalam berbagai interaksi hukum di seluruh dunia Islam.(*)