Jakarta – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA berharap agar ‘bocoran’ Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi UU Pemilu yang akan menyetujui sistem tertutup yang disampaikan oleh Prof Denny Indrayana tidak benar-benar terjadi. Tetapi apabila benar MK akan memutus demikian maka sama saja MK inkonsisten dengan putusannya sendiri sebelumnya, dan perlu disikapi dengan tegas oleh DPR dan Pemerintah sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
“Semoga tidak benar info bahwa MK bakal menyetujui sistem proporsional tertutup. Karena jika itu benar terjadi, maka MK bisa dinilai tidak konsisten dengan putusannya sendiri pada Tahun 2008 yang ‘mengarahkan’ perubahan sistem Pemilu dari proporsional tertutup ke proporsional terbuka. Apalagi sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 putusan MK itu bersifat final dan mengikat,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Senin(30/5).
HNW sapaan akrabnya mengaku tidak yakin MK benar-benar akan mengambil langkah ceroboh yang tidak mentaati konstitusi dengan mengembalikan sistem pemilu ke sistem proporsional tertutup, yang dalam putusan MK sebelumnya pada 2008 dinyatakan sebagai bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. “Bila benar itu dilakukan, sangat sayang sekali, lembaga pengawal konstitusi malah tidak konsisten benar-benar menjalankan ketentuan konstitusi,” tukasnya.
Meski berharap isu tersebut tidak benar, HNW mengatakan seluruh pemangku kepentingan – terutama DPR dan Pemerintah dan KPU – perlu bersiap mengambil sikap apabila MK benar-benar mengambil sikap mengabulkan perubahan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. “Bila MK tetap melakukan hal kontroversial itu, DPR dan Pemerintah sesuai dengan kewenangannya sebagai pembentuk dan pelaksana UU, perlu meluruskan ketidakkonsistenan MK tersebut,” ujarnya.
Salah satu cara meluruskan ketidakkonsistenan tersebut, lanjut HNW, adalah dengan melakukan revisi UU Pemilu untuk menegaskan kembali sistem proporsional terbuka sesuai dengan ‘arahan’ putusan MK pada 2008 lalu yang diberlakukan pada Pemilu 2009, 2014 dan 2019, dan tidak ada bukti bahwa Pemilu yang diputuskan MK dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka bertentangan dengan Konstitusi. “Ini langkah yang penting dipertimbangkan untuk diambil agar ketentuan Konstitusi pasal 22E soal Pemilu bahwa pesertanya adalah Partai Politik dan Rakyat pemilik kedaulatan memilih anggota DPR dan DPRD bukan memilih Partai (sebagaimana dalam sistem tertutup), tetap terkawal dan terlaksana. Sekaligus meluruskan apabila MK dinilai tidak konsisten dengan putusannya sendiri yang diputuskan tahun 2008, yang bersifat final dan mengikat,” tukasnya.
HNW mengatakan langkah tersebut perlu diambil berdasarkan keputusan yang sudah disepakati oleh DPR dan Pemerintah beserta penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu dan DKPP pada Januari 2023 bahwa pada Pemilu 2024 tetap dilakukan dengan sistem proporsional terbuka. “Kesepakatan ini harusnya dihormati dan dijaga bersama agar seluruh ketentuan Konstitusi dapat benar-benar dikawal dan dilaksanakan dengan yang terbaik,” tukasnya.
Apalagi, lanjut HNW, sikap memberlakukan sistem proporsional terbuka itu sejalan dengan kehendak mayoritas rakyat yang disuarakan oleh delapan dari sembilan partai peserta pemilu yang berada di DPR. Hal itu diperkuat dengan hasil tiga kali survey SMRC pada Januari, Februari dan Mei 2023 bahwa 71% – 73% rakyat tetap menginginkan sistem proporsional terbuka. “Jadi, sikap mayoritas mutlak partai di DPR itu sejatinya sejalan dengan sikap mayoritas rakyat di dalam survey tersebut,” ujarnya.
HNW mengatakan, oleh karenanya penting MK yang oleh Konstitusi dipersyaratkan keanggotaannya sebagai negarawan, untuk serius mempertimbangkan itu semuanya, agar keputusannya memajukan demokrasi, suasana menuju pelaksanaan Pemilu 2024 benar-benar kondusif, agar demokrasi Indonesia lebih berkualitas, bukan malah dengan Pemilu sistem proporsional tertutup. “Bila seperti itu, maka demokrasi Indonesia setback kembali ke era Orba, Rakyat yang sesuai Konstitusi diberi hak memilih anggota DPR, bukan memilih Partai, tidak dapat memilih wakil yang mereka kenal dan percayai, Rakyat ibarat “memilih kucing dalam karung”. Demokrasi Indonesia mestinya makin maju, bukan malah setback kembali ke sistem tertutup sebagaimana dipraktekkan di era Orba, era pra reformasi,” pungkasnya.