Jakarta,- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA menilai, usul Relawan Pro Jokowi (Projo) terkait perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 2,5 periode, jelas tak sesuai dengan ketentuan konstitusi yang berlaku di Indonesia, yakni UUD NRI 1945.
“Dari sisi konstitusi, terkait 3 atau 2,5 periode masa jabatan Presiden RI, sama saja. Yaitu sama-sama tak sesuai dengan Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945,” tegasnya melalui siaran pers di Jakarta, Senin (13/6/2022).
Ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 secara tegas berbunyi: ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’. Artinya, masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal hanya diperbolehkan dua periode.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa ‘pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.’ Ketentuan ini memiliki makna bahwa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal adalah lima tahun dikali dua periode, yakni 10 tahun.
“Apabila melebihi itu, jelas merupakan penyimpangan dari ketentuan konstitusi,” tegasnya.
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid menambahkan, Projo sendiri menyadari bahwa wacana 3 periode sulit diwujudkan karena tidak sesuai dengan aturan konstitusi dan aspirasi mayoritas masyarakat Indonesia. Oleh karenanya sewajarnya juga bila segala wacana perpanjangan masa jabatan presiden seharusnya ditutup, termasuk dengan wacana presiden menjabat 2,5 periode. Karena sama-sama tidak sesuai dengan Konstitusi dan tak memiliki landasan hukum.
“Jadi, sebaiknya baik Projo maupun yang lainnya, fokus saja kepada menyukseskan Pilpres 2024. Itu yang harusnya dilakukan oleh semua pihak. Apalagi, Presiden Jokowi sendiri akhirnya meminta agar semua pihak membantu KPU agar dapat melaksanakan pemilu sesuai dengan tahapannya juga dengan anggarannya, dan untuk taat konstitusi dan tak lagi mewacanakan pengunduran Pemilu maupun perpanjangan masa jabatan Presiden,” tukas Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Menurut HNW, sikap Presiden Jokowi yang sejak awal menolak perpanjangan jabatan presiden ini patut diapresiasi dan perlu diimplementasikan ke dalam tindakan yang lebih konkret. “Presiden Jokowi jelas sudah menolak. Jadi, seharusnya Presiden Jokowi juga bisa meluruskan dan menegur relawan-relawannya yang masih saja ingin memperpanjang masa jabatan presiden, sekalipun hanya setengah periode. Bila di tengah berjalannya pentahapan Pemilu oleh KPU, koreksi tegas atas usulan perpanjangan masa jabatan Presiden 2,5 periode ini dilakukan, maka rakyat melihat bahwa Presiden Jokowi memang konsisten dan serius melaksanakan ketentuan konstitusi. Dan meninggalkan legacy yang terpuji karena selamatkan Bangsa dan Negara dari masalah-masalah serius akibat tidak ditaatinya ketentuan Konstitusi,” ujarnya.
Lebih lanjut, HNW juga menyatakan bahwa pihaknya di MPR RI juga tidak mengagendakan amandemen terhadap konstitusi, termasuk terkait perpanjangan masa jabatan Presiden apakah dengan 3 periode maupun 2,5 periode. Bahkan fraksifraksi di MPR yang tadinya mengusulkan amandemen UUD secara terbatas untuk hadirkan PPHN, sekarang sudah berubah sikap, dan menyatakan bahwa wacana amandemen terkait pokok-pokok haluan negara (PPHN) juga tidak dilakukan pada periode ini, karena kekhawatiran adanya penumpang gelap untuk mengamandemen UUD untuk memperpanjang masa jabatan presiden.
“Jadi, sebaiknya semua pihak termasuk relawan Jokowi, agar mensudahi wacana yang melanggar konstitusi tersebut. Dan fokus kepada pelaksanaan pemilu 2024, agar bangsa ini dapat memiliki pemimpin dan wakil rakyat yang memang benar-benar dapat memajukan bangsa dan negara, serta berlaku adil kepada seluruh rakyat Indonesia. Dan agar Pemilu 2024 benar-benar berkualitas dan tak ulangi masalah-masalah pada pemilu 2019,” pungkasnya.