JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo bersama Presiden Joko Widodo menghadiri Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) dan Musyawarah Dewan Partai (MDP) Partai Bulan Bintang (PBB) Tahun 2023. Dirinya mendukung pernyataan Ketua Umum PBB Prof. Yusril Ihza Mahendra terkait perlunya bangsa Indonesia memikirkan tentang tata cara pengisian jabatan publik yang pengisian jabatannya dilakukan melalui Pemilu, seperti Presiden dan Wakil Presiden, Anggota MPR RI, DPR RI, DPD RI, hingga DPRD Kabupaten/Kota, apabila di suatu saat terjadi penundaan Pemilu yang disebabkan berbagai hal kedaruratan lainnya. Misalnya disebabkan gempa bumi megathrust di selatan Pulau Jawa, kerusuhan massal, maupun karena pandemi global yang terulang kembali.
“Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya dalam Pasal 431 telah mengatur tentang penundaan Pemilu, yakni disebabkan karena terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian dan atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan. Namun tidak ada ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundangan manapun tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan karena penundaan Pemilu,” ujar Bamsoet usai menghadiri Rakornas dan MDP PBB Tahun 2023, di Jakarta, Rabu (11/1/23).
Turut hadir antara lain, Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Wakil Menteri Pertanian Harvick Hasnul Qolbi, Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni, dan Pejabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Hadir pula Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, tidak adanya ketentuan hukum tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan karena penundaan Pemilu, menjadi salah satu yang terlewatkan pada saat melakukan amandemen konstitusi yang dimulai pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Padahal bisa saja suatu saat nanti bangsa Indonesia menghadapi kondisi force majeure yang luar biasa sehingga menyebabkan Pemilu tidak dapat dilaksanakan sesuai ketentuan yang ditetapkan.
“MPR RI saat ini berbeda dengan MPR RI sebelum amandemen konstitusi. Di UUD 1945 yang lalu, MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, bisa mengeluarkan sejumlah TAP MPR guna mengatasi krisis konstitusi. Bahkan pada saat melantik Presiden dan Wakil Presiden saja, MPR RI tidak mengeluarkan TAP MPR tentang pelantikan, melainkan hanya mengeluarkan Berita Acara Pelantikan. Hal ini jugalah yang perlu dibahas dan didalami lebih lanjut, tentang penataan kewenangan kelembagaan sekaligus penataan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum FKPPI sekaligus Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, Prof. Yusril juga menyoroti tentang komposisi keanggotan MPR RI yang saat ini hanya terdiri dari anggota DPR RI dan anggota DPD RI. Tidak ada lagi Utusan Golongan yang bisa merepresentasikan kelompok masyarakat, seperti Suku Dani dan Suku Dayak. Akibatnya, tidak ada lembaga yang merepresentasikan seluruh kepentingan bangsa Indonesia.
“MPR RI juga telah menerima aspirasi serupa tentang pentingnya Utusan Golongan dalam komposisi keanggotan MPR RI. Sebagaimana disuarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), serta Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi). Menanggapi hal ini, MPR RI akan mengajak para pakar hukum tata negara serta para tokoh bangsa untuk berdiskusi lebih dalam tentang urgensi menghadirkan kembali Utusan Golongan, sehingga bisa merepresentasikan seluruh aspirasi dan kepentingan rakyat secara komprehensif,” pungkas Bamsoet. (*)