PAPUA BARAT – Dua puluh satu tahun Otonomi khusus di tanah Papua. Harapannya, terdapat perubahan signifikan ke arah Papua yang lebih baik. Nyatanya, Papua Barat masih termasuk kategori provinsi yang berstatus belum mandiri bersama dengan 9 provinsi lainnya (Aceh, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku dan Maluku Utara).
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR RI pada tahun 2020 dalam penelaahan atas Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua juga menyebutkan hal senada. Provinsi Papua memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keberlanjutan Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur yang mendominasi total pendapatan daerah sebesar 64,50 persen pada Tahun Anggaran 2018.
Tak hanya itu, dari hasil PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu) dan LKPD (Laporan Keuangan Pemerintah Daerah) BPK RI mengungkap, terdapat temuan dan permasalahan terkait dengan Dana Otonomi Khusus. Temuan itu dilihat dari permasalahan sistem pengendalian intern maupun kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Filep Wamafma selaku wakil daerah Papua Barat di DPD RI turut memberikan catatan. Ia menyebut bahwa persoalan kemandirian harus menjadi perhatian utama pemerintah daerah dan seluruh stakeholder terkait.
“Salah satu tujuan Otsus ialah menciptakan kemandirian daerah agar dapat berdiri di atas kaki sendiri, menciptakan kesejahteraan dengan sumberdaya sendiri dalam batas-batas peraturan perundang-undangan. Karena itu, segala temuan terhadap Papua harapannya menjadi bahan evaluasi bersama jika kita benar-benar berharap adanya perubahan.” Kata Filep.
Wakil Ketua I Komite I DPD RI ini menyebut, bahwa setiap kewenangan terkait Papua yang diatur pada UU Otsus merupakan hal mutlak yang wajib dijalankan dan dicapai oleh Papua.
Sayangnya, dalam seluruh pelaksanaan Otsus selama ini, kemandirian tersebut belum dapat dicapai. Apalagi kritik soal kewenangan yang dianggap tidak memiliki “gigi” ini telah lama disampaikan oleh daerah. Salah satunya oleh gubernur Lukas Enembe.
“Kita dapat berkaca pada satu kasus. Kebijakan pemekaran DOB dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat, top down, tanpa melalui proses umum pemekaran yang biasanya dimulai dari usulan masyarakat di daerah (bottom up), atau syarat-syarat dimekarkannya wilayah. Inilah salah satu bentuk “arogansi” negara yang tanpa disadari mengikis kemandirian daerah. Papua dibuat seperti harimau tak bertaring.” Tandasnya.
Menurutnya, memahami secara utuh adanya otonomi khusus Papua dapat berdampak signifikan membantu kemandirian provinsi di Papua.
“Sistem seperti ini (kebijakan top-down) menenggelamkan wewenang Pemda Provinsi, dan karena itu Pemda hanya berdiri sebagai penonton. Dari sini saja dapat dikatakan bahwa ketergantungan Pemda akan semakin besar kepada Pemerintah Pusat, agaknya seperti sudah didesain sedemikian rupa sehingga pola-pola pembangunannya tetap mengikuti keinginan Pemerintah Pusat.” Tandas akademisi Papua Barat ini.
“Lalu di mana kemandirian Otsus itu? Selamanya Pemda Provinsi berharap pada kucuran dana Otsus, padahal esensi otsus bukan hanya soal dana. Rencana pembangunan lebih dipahami oleh Pemerintah Pusat. Pengelolaan sumberdaya daerah menjadi tidak optimal, dan kepala daerah menjadi tidak kreatif dalam membangun daerah. Inilah keprihatinan yang tidak pernah disuarakan.” tegasnya.
Filep menyebut, jika kewenangan tidak diberikan secara utuh, maka sumber daya alam Papua hanya menjadi “tabungan” untuk kepentingan segelintir orang, dengan feedback yang tidak sebanding dengan kekayaan Papua.
“Kita boleh menyalahkan kurang optimal dan terarahnya pemakaian dana Otsus, namun kita juga boleh mempertanyakan dimana kemandirian daerah pada saat Pemerintah Pusat mendesain ketergantungan daerah kepadanya.” Tutup politisi muda tersebut.