Jakarta – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi sikap Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dengan pengakuan dan permintaan maaf negaranya atas telah terjadinya perbudakan di wilayah-wilayah atau negara koloni Belanda di masa lalu, serta mendorong Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk membicarakannya spesifik perbudakan dan pelanggaran HAM yang dulu dilakukan Belanda terhadap warga Indonesia, serta secara serius juga menuntut agar kerajaan Belanda tidak hanya meminta maaf dan mengakui de facto kemerdekaan RI tetapi juga segera mengakui secara resmi dan de jure kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia dari penjajahan Belanda adalah pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan tanggal 27 Desember 1949.
“Permohonan maaf seperti itu tentu diapresiasi, walaupun sudah pernah disampaikan, dan walaupun kini disampaikan secara umum untuk negara-negara koloni Belanda di masa lalu. Namun, Pemerintah Indonesia melalui Kemlu perlu menindaklanjuti bagaimana sikap Belanda terkait spesifik Indonesia di masa lalu, baik terkait masalah perbudakan, pelanggaran HAM, lalu tindak lanjut permohonan maaf tersebut, juga pengakuan dejure atas kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia pd 17 Agustus 1945”ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (21/12).
HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa permohonan maaf ini memang ditujukan secara umum terhadap negara-negara koloni Belanda di masa lalu. Oleh karenanya, perlu dibahas secara spesifik mengenai Indonesia. “Bagaimana sikap Belanda terkait Indonesia di masa penjajahan Belanda? Ada banyak yang perlu diklarifikasi dan kepentingan Indonesia perlu diperjuangkan,” tukasnya.
Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa sikap permohonan Belanda ini bukan kali yang pertama. Raja Belanda pada 10 Maret 2020 dan PM Rutte pada 17 Februari 2022 sebelumnya juga telah meminta maaf atas kekerasan ekstrem yang dilakukan militer Belanda pada periode 1945 sampai dengan 1949. “Lalu, bagaimana dengan kekerasan dan pelanggaran HAM pada periode sebelum 1945, yakni periode penjajahan, dimana banyak rakyat Indonesia (Nusantara) yang tewas akibat tindak kolonialisme kerajaan Belanda, seperti melalui tanam paksa, kerja rodi dll?” tukasnya.
Anggota DPR RI Dapil Jakarta II meliputi luar negeri ini menjelaskan beberapa hal tersebut perlu dibicarakan serius oleh Kemlu RI dengan pemerintah Belanda agar persoalan ini dilihat secara tulus dan komprehensif, bukan secara parsial terhadap periode-periode tertentu, seperti hanya periode 1945-1949. “Dan perlu juga dikritisi soal PM Rutte agar mengakui bahwa Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945 melalui proklamasi Soekarno-Hatta, agar sikap itu sebagai pengakuan resmi secara de jure bukan sekedar de facto saja. Sekalipun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 telah diakui olh PBB dan masyarakat dunia, tetapi permintaan maaf pemerintah Belanda terakhir ini juga momentum yang perlu dipergunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan pengakuan de jure bhw kemerdekaan Indonesia adalah pada 17 Agustus 1945,” ujarnya.
HNW menambahkan sebelumnya memang ada pengakuan secara de facto kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot pada 2005. Namun, pengakuan tersebut hanya bersifat de facto, bukan de jure berdasarkan ketentuan hukum yang sah. “Momentum ini perlu digunakan Kemlu untuk menuntut pengakuan secara de jure tersebut. Agar tidak hanya berkali-kali Belanda meminta maaf, tetapi tidak meminta maaf kepada Indonesia karena baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 secara de facto saja, belum mengakuinya secara de jure,” ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menuturkan bahwa Kemlu perlu menyisir ulang terkait peristiwa pelanggaran HAM atau kejahatan kemanusiaan lainnya oleh Belanda pada periode kolonialisasi di Indonesia, dan mendiskusikan penyelesiannya atau reparasi dengan pihak Belanda. Ia mencontohkan kasus pembantaian Rawagede oleh militer Belanda, dimana Pengadilan Belanda memutus bermasalah militer Belanda untuk membayar ganti rugi kepada korban 20 ribu euro (Rp 240 juta) untuk janda korban pembantaian Rawagede.
Kasus Rawagede ini, lanjut HNW, tentunya hanya salah satu kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi oleh Belanda terhadap Indonesia. Ada banyak kasus sejenis lainnya, seperti pembantaian oleh Westerling di Sulawesi Selatan dengan jumlah korban yang sangat besar. “Lalu, bagaimana permintaan maafnya atau bagaimana hak atas pemulihan dan reparasi langsung (direct reparations) bagi korban atau keluarganya yang masih hidup terhadap pelanggaran HAM tersebut. Bentuknya tentu tidak melulu berkaitan dengan uang, tetapi harus ada tindak lanjut lebih konkret agar permohonan maafnya betul-betul tulus dan serius yang akan bisa membuka lembar sejarah positif yang baru dalam hubungan yang bermartabat antara Belanda dan kawasan-kawasan bekas jajahannya termasuk Indonesia,” pungkasnya.