JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus kandidat doktor studi Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bambang Soesatyo kembali menulis artikel riset ilmiah, berjudul ‘The Urgency of the Staples of State Policy As a Legal Umbrella For The Sustainable Development Implementation to Face The Industrial Revolution 5.0’, yang telah dimuat dalam jurnal internasional terindex Scopus, Central Asia and The Caucasus Journal, Volume 23 Issue 1 2022, English Edition. Diterbitkan oleh CA and CC Press AB, dari Swedia.
Publik bisa membaca tulisan tersebut dengan mengklik tautan https://ca-c.org/submissions/index.php/cac/article/view/121/55
“Selain sebagai salah satu syarat dalam menempuh pendidikan doktor di studi Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, artikel tersebut juga untuk memperluas khazanah pemikiran tentang urgensi kehadiran Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai payung hukum pelaksanaan pembangunan berkelanjutan Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 5.0. Publik bisa membaca dan mengkritisinya, sehingga ruang dialog semakin terbuka, yang pada akhirnya akan semakin mempertajam pengetahuan tentang urgensi kehadiran PPHN,” ujar Bamsoet di Jakarta, Kamis (1/9/22).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dalam artikel tersebut dirinya menjelaskan tentang perjalanan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pada masa dahulu pernah dimiliki Indonesia sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia oleh para pendiri bangsa, Bung Karno dan Bung Hatta dengan nama Pola Pembangunan Semesta Berencana (PPSB) sebagai landasan program pembangunan nasional. Yang kemudian dilanjutkan pada era Presiden Suharto dengan nama Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai panduan jangka panjang pembangunan nasional. Namun akhirnya dalam amandemen ketiga konstitusi yang dilakukan pada 1-9 November 2001, keberadaan GBHN dihapuskan.
Perubahan penting lainnya dalam amandemen ketiga tersebut adalah presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih oleh MPR RI, melainkan langsung dipilih oleh rakyat. Sehingga program pembangunan tidak lagi didasarkan pada GBHN yang dibuat oleh MPR RI melainkan pada visi-misi presiden dan wakil presiden terpilih.
“Karena ketiadaan GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional, pemerintah kemudian membentuk UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Namun dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut masih menyisakan beragam persoalan. Selain kecenderungan eksekutif sentris, dengan model sistem perencanaan pembangunan nasional yang demikian, memungkinkan RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, demikian pula antara sistem perencanaan pembangunan nasional dan sistem perencanaan pembangunan daerah, yang berpotensi terjadi ketidakselarasan. Mengingat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tidak terikat untuk mengacu pada RPJMN, karena visi dan misi Gubernur/Bupati/Walikota sangat mungkin berbeda dengan Visi dan Misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
“Berbagai kelemahan tersebut akhirnya mengantarkan pada gagasan perlunya MPR diberikan kembali kewenangan menetapkan Haluan Negara, yang kemudian dikenal dengan nomenklatur PPHN. Keberadaannya akan menjadi kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan dasar (directive principles) tentang bagaimana melembagakan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi ke dalam pranata publik. PPHN juga menjadi paket integral dari konsepsi negara kekeluargaan yang dikehendaki Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, keberadaan PPHN juga sangat diperlukan dalam mempersiapkan Indonesia menghadapi Revolusi Industri 5.0 dalam menyongsong Indonesia Emas 2045. Menciptakan nilai baru melalui perkembangan teknologi canggih yang dapat mengurangi adanya kesenjangan antara manusia dengan masalah ekonomi dan teknologi. Karenanya keberadaan PPHN sangat penting untuk memuat norma-norma dasar yang mengarah pada cita-cita dan tujuan nasional yang sifatnya memberikan arahan kepada lembaga-lembaga negara. Terutama lembaga penyelenggara pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
“Tak heran jika banyak pihak seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), Organisasi Kemasyarakatan dan Organisasi Keagamaan mulai dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, dan lain sebagainya menilai kewenangan membentuk PPHN lebih tepat berada ditangan MPR, sebagai lembaga legislatif yang paling representatif karena diisi oleh DPR RI (representasi politis) dan DPD RI (representasi teritorial/daerah),” pungkas Bamsoet.