Jakarta,- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mendukung sikap Dewan Pers beserta Komunitas Pers Indonesia, yang mempersoalkan Pasal 2 huruf d Maklumat Kapolri. Pasal 2 huruf d, maklumat Kapolri, itu salah satu isinya melarang penyebaran konten terkait Front Pembela Islam (FPI). Dewan Pers beserta Komunitas Pers Indonesia, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), serta Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred) menilai larangan tersebut menabrak aturan di konstitusi.
HNW sapaan akrab Hidayat merujuk ketentuan Pasal 28F UUD NRI 1945 yang berbunyi, ‘Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.’
Menurut HNW ketentuan kebebasan mendapatkan dan mencari informasi itu memang merupakan hak asasi manusia (HAM) yang bersifat derogable (bisa dibatasi). Ketentuan pembatasannya merujuk kepada Pasal 28J ayat (2).
“Yang perlu dipahami adalah pembatasan hak tersebut harus dilakukan melalui undang-undang, bukan berdasarkan Maklumat Kapolri. Apalagi hirarki aturan hukum di Indonesia tidak mengenal istilah “Maklumat Kapolri”,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (2/1/2021).
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai Maklumat Kapolri, itu berlebihan jika diperuntukan membatasi hak asasi yang dijamin oleh konstitusi. Apalagi, hak asasi tersebut telah diturunkan ke dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
“Berbekal ketentuan, itu wajar apabila dewan dan komunitas pers menolak Maklumat Kapolri karena khawatir terhadap pelarangan yang bisa menghalangi kebebasan pers dan kebebasan publik tersebut. Apalagi saat ini, sejumlah media sedang aktif memberitakan dan menginvestigasi penembakan 6 anggota FPI, yang menjadi perhatian luas dari publik. Karenanya dikhawatirkan larangan itu akan berdampak kepada pengusutan dengan tuntas dan adil terhadap kasus yang oleh banyak pihak disebut masuk kategori pelanggaran HAM berat tersebut,” ujarnya.
Tetapi, HNW juga mengapresiasi sikap Kadiv Mabes Polri Irjen Pol Argo Yuwono yang menjelaskan bahwa konten yang dimaksud adalah berita bohong, adu domba, SARA, kerusuhan dan lain-lain.
“Bila ini yang dimaksud oleh Kapolri, seharusnya isi Pasal 2 huruf d Maklumat tersebut direvisi atau diperbaiki. Supaya ada kejelasan, agar berita bohong dan seterusnya itu juga perlu dibuktikan melalui mekanisme hukum yang berlaku. Karena memang banyak berita terkait FPI tidak ada unsur bohong dan SARA-nya, misalnya kegiatan kemanusiaan FPI membantu korban tsunami, bencana alam, dan disinfektanisasi Gereja. Juga banyak informasi terkait FPI yang menegaskan bahwa FPI tidak mendukung terorisme, bahkan menolak ISIS,” jelasnya.
“Sebaiknya Pasal 2 huruf d Maklumat tersebut segera direvisi atau diperbaiki, agar tidak terjadi ketidakjelasan di lapangan, sehingga berujung kepada kriminalisasi terhadap banyak orang, termasuk para jurnalis yang ingin melaksanakan hak asasi mereka dan warga negara terkait dengan memperoleh dan mencari informasi terkait FPI,” pungkasnya.